Bimbang
Hai, apa kabar ?
Kulihat sudut-sudutmu sudah dipenuhi jelaga. Terakhir kali 23 April, tiga bulan sudah aku tak bercerita padamu. Maaf. Aku terlalu jumawa dengan bahagiaku, sampai lupa pada janjiku untuk bercerita padamu. Sebenarnyapun aku tak sepenuhnya bahagia, tidak setiap waktu. Kau pasti tahu, hidup tak pernah stagnan pada satu keadaan saja.
Hei, setidaknya hari ini aku kembali menyapa, bercerita... mungkin.
Aku tahu, tentang banyak hal, tapi tidak sebanyak tentang diriku sendiri. Aku tak cukup mumpuni untuk menggali tentang diriku, atau mungkin aku terlalu acuh, terlalu takut, atau bahkan terlalu pengecut untuk tahu tentang diriku.
Aku tahu ini terdengar aneh bagimu, tiba-tiba mendengarku berbicara seperti ini. Aku tak minta untuk kau pahami, cukup dengarkan aku. Aku mencoba bercerita....
Belakangan ini, aku jatuh cinta. Aku merajut mimpi-mimpi yang sebelumnya pernah menguap menyisakan gersang pada padang tandus pengharapan. Aku berani untuk kembali merangkai kata indah, janji dan semua angan tentang kehidupan dalam ikatan suci. Aku berani. Sebab dia membuatku berani, maka aku berani.
Lantas cerita-cerita kami mulai tertulis, menit demi menit, hari demi hari, bulan demi bulan, sampai dengan ketika aku bercerita padamu malam hari ini. Tidak, cerita kami belum berakhir, setidaknya belum untuk saat ini.
Dia spesial buatku, sampai aku mampu melakukan hal yang mungkin selama ini belum pernah terpikir apalagi kucoba lakukan. Sebegitu spesial dia buatku. Sampai setiap waktuku hampir tak sepi dari berbalas pesan dengannya. Sesekali bertatap muka via panggilan video whatsapp. Dan itu semua membahagiakanku, dia pun begitu.
Sampai pada saat dimana keseriusanku dituntut dan akupun berpikir keras untuk itu, mengira-ngira apa yang bisa kulakukan untuk mewujudkan mimpi indah kami itu. Iya, itu mimpi indah kami yang harus kuwujudkan. Setidaknya seperti itu yang dirasa hatiku. Dia menginginkan aku, aku pun begitu. Aku tak mau ada tapi dalam hal itu. Sayang, bahkan logam terkuat pun punya titik leleh, burung yang terbang tinggi, tak bisa selamanya bermain dengan awan. "Tapi" itu selalu ada. Hari ini dia bercerita, tentang seseorang yang hendak meminangnya, "keluarganya baik, anaknya pun sudah mapan, tapi adek gak ada rasa, ya gak bisa dipaksain". Baik sekali dia ceritakan itu padaku, tapi entah mengapa itu seperti petir yang menyambar, guntur yang menggelegar, cerita yang telah kumulai tiba pada konfliknya. Mimpi yang kubangun mulai kehilangan kekuatan pondasinya. Aku cinta dia, tapi aku bimbang pada diriku, pada sejauh mana aku berani mencintainya. Aku bimbang....
Komentar
Posting Komentar